Rabu, 31 Oktober 2007

MENGAIS RUPIAH DARI BEKICOT

SEPULUH perempuan seolah berlomba-lomba memasukkan irisan daging bekicot ke bambu kecil tusuk sate, Kamis (5/7) siang, di rumah Supari, seorang usahawan sate dan kripik bekicot di Desa Plosokidul, Kecamatan Plosoklaten, Kabupaten Kediri.

Para perempuan itu diupah secara honorer oleh Satumi, istri Supari. Tiap seribu tusuk sate bekicot yang dibuat, setiap pekerja mendapat upah Rp 1.500. "Ada yang bisa membuat sampai dua ribu tusuk, bahkan tiga ribu. Tetapi juga ada yang cuma seribu, tergantung cepat-lambatnya mereka bekerja," ujar Satumi.

Wanita-wanita itu bekerja sejak pukul 10.00, hingga pukul 17.00. Dari tangan sejumlah pekerja itulah, usaha sate dan kripik bekicot yang digiatkan suami istri Supari-Satumi, bisa terus berdenyut hingga kini.

Mayoritas karyawan bisnis bekicot itu, adalah ibu-ibu rumah tangga di sekitar kediaman Supari, yang ingin mendapat tambahan penghasilan. "Saya biasa datang bekerja di sini, mulai jam 10 sampai setengah 11. Pokoknya, setelah selesai memasak di rumah," ucap salah seorang dari mereka.

Bisnis sate dan kripik bekicot, tak pelak lagi, merupakan salah satu alternatif penampungan lapangan pekerjaan bagi warga Plosokidul. Sebab, memang tak cuma Supari yang menjalankan bisnis itu di Plosokidul.

Selain dia, ada empat usahawan serupa di desa tersebut. Mereka adalah Karsi, Karmin, dan Jumiran. Dengan empat unit usaha rumah tangga pengolahan bekicot itu, setidaknya tertampung sekitar 45 tenaga kerja, dengan pendapatan antara Rp 1.500 hingga Rp 4.500.

Di rumah-rumah tersebut, ribuan bekicot mentah, diolah sedemikian rupa menjadi sate dan kripik bekicot yang siap disantap. Bekicot mentah-setelah dipecahi "rumahnya"-langsung diinjak-injak dengan sepatu boot, di dalam tong.

Penggilasan itu berfungsi untuk menghilangkan lendir bekicot. Sesudah itu, daging bekicot dicuci, dibelahi, dicuci lagi, baru kemudian digoreng. Biasanya, penggorengan bekicot memakan waktu 15 menit.

***

BAGI Supari yang bekerja sebagai buruh di pabrik gula, penghasilan tambahan dari usaha sate dan kripik bekicot, sangat membantunya dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dari usaha yang merupakan turunan orangtuanya itu, Supari dan Satumi rata-rata mendapat untung bersih antara Rp 25.000 hingga Rp 30.000 per hari.

Tiap hari, mereka membeli delapan kuintal bekicot dari sebuah perusahaan di Kecamatan Pesantren, Kota Kediri. Per kilonya, harga bekicot mentah Rp 500. Dari delapan kuintal itu, empat kuintal langsung diolah hari itu juga, sedang empat kuintal lain disimpan untuk dimasak esok harinya.

Ia mengakui, di musim kemarau seperti sekarang, harga bekicot mentah lebih mahal dari biasanya, karena bekicot jarang muncul. Sekarang ini, bekicot yang biasa berharga Rp 400 per kilogram, naik menjadi Rp 600 hingga Rp 700.

Sesudah dimasak dan menjadi sate bekicot siap saji, Satumi menjualnya ke sejumlah pedagang sate bekicot. Salah satunya, ke warung "Lumintu", yang tak lain milik ibundanya sendiri. Di warung sate dan kripik bekicot itu, kripik bungkusan kecil dijual seharga Rp 1.500, dan bungkusan besar Rp 3.000.

Sementara, sate bekicot, tiap 10 tusuk harganya Rp 1.000. Warung "Lumintu" yang juga terletak di Desa Plosokidul, bisa dikata tidak pernah sepi dari pengunjung. "Sehari-hari, banyak langganan yang datang dan makan di sini," kata salah seorang petugas warung.

Sugiyanto, seorang pelanggan sate bekicot "Lumintu" mengatakan, setiap ia datang ke Kediri, selalu mampir ke Plosoklaten untuk makan sate di situ. Ia berpendapat, rasa daging bekicot selalu membuatnya "kangen", karena rasanya gurih dan sedikit asin.

"Makanya, tiap ke Kediri, saya selalu mampir dan makan di sini," jelas karyawan yang berkantor pusat di Surabaya, namun sering kali berkeliling ke kota-kota di Jawa Timur itu.

Tidak ada komentar: